FILOSOFIS LEBAH, DAN MUSYAWARAH SEBAGAI REPRESENTASI DARI PANCASILA
Filosofis Lebah, Dan Musyawarah Sebagai Representasi Dari Pancasila
Oleh
: Eka Fitrianingsih,S.Pd
Musyawarah
adalah bagian dari aplikasi terhadap mengangkat nilai-nilai sosial masyarakat dimana dalam agama kita
Allah meminta untuk bermusyawarah untuk memutuskan sesuatu yang umum dalam kehidupan bermasyarakat. Kalaulah kita
ambil persamaan makna maka musyawarah adalah kunci dari pelaksanaan Demokrasi.
Sang pemimpin yang mengambil keputusan, rakyat atau yang mengikuti
bermusyawarah untuk kepentingan bersama. Dalam Islam bermusyawarah merupakan cara mencari titik
temu dari beberapa sudut pandang .Menurut Dr. Yusuf Qordhowi bahwa musyawarah
adalah yakni hendaknya seseorang tidak menyendiri dalam pendapat dan dalam
persoalan-persoalan yang memerlukan kebersamaan pikiran dengan orang lain hal
ini dikarenakan pendapat dua orang atau lebih dalam kelompok itu dianggap lebih
mendekati kebenaran dari pada pendapat seorang saja. untuk Di Indonesia sendiri
musyawarah dilakukan untuk mencapai hal yang mufakat dan itu cirinya .
Prinsip
bermusyawarah adalah mengambil madu dari lebah, maka mestinya seorang yang akan
bermusyawarah hendaknya memiliki sifat seperti lebah diantaranya adalah 1) makan dari sesuatu yang bersih dan
baik, 2) jika hinggap dia tidak merusak, 3) kalau menghasilkan merupakan sesuatu yang baik, 4) kalau menyengat dia
tidak menyengat kecuali di ganggu, 4) hidup dilingkungan yang baik, 5) hidup
berkelompok. Itulah sifat yang baik ketika akan melakukan bermusyawarah.
Musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara oleh Al Quran merupakan
unsur terpenting dalam berkelompok. Hal tersebut menjadi kaidah asasi dan meletakkan dasar-dasar kehidupan
masyarakat secara umum. Allah swt berfirman dalam ayat yang turun di Madinah
yang berbunyi : ‘’...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu...’’ ( Ali
Imran ; 159) . Maksud dari
firman tersebut adalah urusan yang bersifat umum dan sebagai kepentingan
bersama. Dan ayat tersebut turun setelah perang Uhud saat Rasulullah
bermusyawarah dengan sahabatnya. Disini Rasulullah SAW mengikuti suara
mayoritas sahabat. Hasilnya adalah kekalahan yang menimpa umat Islam sehingga
gugur tujuh puluh syuhada dari para sahabat pilihan. Diantaranya Mushab bin
Umair, Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan beberapa kejadian perang dalam sejarah
Islam Rasulullah SAW selalu menggunakan sarana bermusywarah untuk mengambil
keputusan seperti, perang Badar, Perang Khandaq dan lain-lain
Dalam
melakukan bermusyawarah tentunya tidak semua orang bisa diajak untuk
bermusyawarah agar mendatangkan hasil yang baik walau mungkin bukan keputusan
yang terbaik pada saat itu. Ada lima kategori orang yang baik untuk diajak
musyawarah dalam pandangan ulama menurut hasil pengamatan saya diantaranya
adalah 1)Berakal, 2)Berilmu, 3)Tulus, 4)Berwawasan
luas, 5)Bertawakal pada Allah SWT. Dalam bermusyawarah sebaiknya jauhilah
orang –orang diantaranya orang yang penakut serta ambisius karena bukan
kebaikan yang akan dihasilkan melainkan kemudharatan. Mengapa harus di
hindari?? Orang-orang yang penakut akan membuat jalan keputusan menjadi sulit
dan orang ambisius akan cenderung
memudahkan atau berpihak kepada kelompok
tertentu.
Setelah
kita memperhatikan beberapa hal yang sudah di uraikan mari kita perhatikan
dalam pelaksanaan di masyarakat. Bolehlah
kita ambil contoh ketika pengangkatan Khalifah Sayyidina Abu Bakar Ash shiddiq
menggantikan Rasulullah wafat. Bahwa pengangkatan Sayyidina Abu Bakar Ash
shiddiq dipilih atas musyawarah para sahabat Rasulullah untuk melanjutkan tongkat
estafet kepemimpinan negara di Saqifah Bani Saidah ( sebuah Balairung di kota
Madinah ) pertemuan tersebut dilakukan oleh kaum Anshor dan kaum muslimin, yang
mereka yakini Rasulullah belum pernah menunjuk pengganti kepemimpinan. Pada
waktu tersebut keluarga Rasulullah masih sibuk dengan pengurusan pemakaman
Rasulullah. Yang perlu digaris bawahi
adalah bagaimana proses Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq menjadi Khalifah adalah
melalui proses musyawarah diantara kaum muslimin, sahabat terdekat Nabi, kaum
Anshor dan kaum Muhajirin dimana hasilnya suara terbanyak setuju Sayyidina Abu
Bakar Ash Shiddiq sebagai Pemimpin negara setelah Rasulullah wafat, adapun ada
sebagian yang tidak setuju itu tidak di permasalahkan karena ada faktor suara
mayoritas. Ini kisah dari masa Khulafaur Rasyidin yang pastinya berbeda-beda
kondisi, maka akan berbeda juga bentuk musyawarah dengan tingkat
kompleksitasnya. Bagaimana kondisi masyarakatnya maka cara bermusyawarahnya pun
akan bervariasi namun tetap berujung untuk kebaikan bersama.
Setelah
kita melihat bagaimana Islam menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Pastinya kita bisa menjadikan contoh bahwa Islam
menjadi pelopor dari apa yang disebut dengan demokrasi. Mestinya para penguasa
juga bisa mengamalkanya karena dalam Islam juga memerintahkan seorang pemimpin
agar bermusyawarah dan memerintahkan rakyat memberikan nasihat kepada pemimpin
seperti yang di terangkan dalam hadist Shahih ‘’Agama adalah nasihat.’’ (HR.
MUSLIM). Disini ada dialog antara pemimpin dengan rakyat sehingga
timbul rasa cinta kepada antara rakyat dengan pemimpin. Jika apa yang
diperintahkan oleh pemimpin itu benar maka harus dikuti jika terdapat kesalahan
maka harus diluruskan, agar tercipta keselarasan dan keharmonisan karena itulah
yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah SAW sepeninggalnya untuk
meneruskan kebiasaan baik yakni bermusyawarah sebagai bentuk menjunjung tinggi
nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Terlebih dalam representasi ideologi
Pancasila yakni sila ke – 4 (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
dan perwakilan). Wallahu’alam
Komentar
Posting Komentar